Skip to content

Kota Pontianak Kembali Dinobatkan Sebagai Kota Layak Anak Kategori Madya

Kota Pontianak Kembali Dinobatkan Sebagai Kota Layak Anak Kategori Madya

Pemerintah Kota Pontianak kembali mendapatkan penghargaan Kota Layak Anak (KLA). Dalam dua tahun  terakhir (2013, 2014) Kota Pontianak telah dinobatkan sebagai kota Layak Anak kategori Madya. Sedangkan dua tahun sebelumnya (2011, 2012) Kota Pontianak dinobatkan  sebagai Kota Layak Anak kategori Pratama.

Terdapat 260 kabupaten/kota yang dinilai dalam penghargaan Kota Layak Anak tersebut. Penghargaan diserahkan secara simbolis oleh Presiden RI Joko Widodo di Halaman Istana Bogor, Selasa (11/8/2015). "Pontianak kembali meraih penghargaan Kota Layak Anak ini untuk yang keempat kali. Dua kali di pratama dan dua kali di madya. Mudah-mudahan tahun depan naik peringkat," ujar Wali Kota Pontianak, Sutarmidji usai menerima penghargaan.

Menurutnya, menjadikan suatu kota layak anak itu bukan hal yang gampang. Diakui Midji, hal-hal yang berkaitan dengan ekploitasi anak masih ada terjadi. "Terutama kejahatan terhadap seks yang anak jadi korban masih juga terjadi tapi kita akan melakukan langkah yang tegas untuk penindakan dan kita juga akan menjadikan Pontianak betul-betul kota layak anak," ungkapnya.

 

Beberapa aturan dan regulasi, kedepannya, akan dikeluarkan untuk melindungi hak-hak anak. "Kita juga akan terus memberikan apa yang menjadi hak anak. Semoga upaya kita menjadikan Pontianak menjadi layak anak bisa tereksploitasi dengan baik, Kedepannya, jika indikator serta capaiannya semakin baik maka akan naik ke kategori nindya. Kemudian naik lagi ke kategori utama yang hingga saat ini belum ada diraih oleh sekabupaten di Indonesia" harapnya.

Dalam kesempatan penganugerahan Kota Layak Anak yang sekaligus merupakan puncak peringatan hari anak 2015, Presiden Joko Widodo jufa menganugerahi tiga proivinsi sebagai kota layak anak 2015. Tiga provinsi tersebut adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Timur. Ketiganya keluar sebagai pemenang dari tiga katagori, yaitu nindya 3 kabupaten/kota, madya 24 kabupaten/kota dan pratama 50 kabupaten/kota.

Sementara itu, Menteri Pemberdayan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yambise mengatakan, piagam diberikan kepada gubernur dan wali kota masing-masing sebagai bukti kepedulian pemerintah untuk tetap menjaga dan melindungi anak dan perempuan.

 

"Provinsi, kabupaten/kota layak anak yang saat ini sudah dikembangkan di 260 kabupaten/kota. Kita berikan penghargaan kepada para gubernur, bupati, wali kota yang telah mewujudkan provinsi/kabupaten/kota ramah anak," ucap Yohana di sela-sela acara di Istana Bogor.

Menurutnya, Kementerian Hukum HAM dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah melakukan perubahan mendasar dan fundamental dalam sistem dan perlakukan pembinaan anak. Perubahan itu diwujudkan dalam Piagam Arcamanik yang berisi sepuluh prinsip pembinaan anak. "Melalui sebuah gerakan nasional, peresmian Piagam Arcamanik," imbuh dia

Hari Anak Nasional jatuh tiap 23 Juli di setiap tahunnya. Karena berbagai alasan,peringatan HAN baru dapat digelar pada Agustus Ini. Tema peringatan HAN 2015 kali ini adalah "Wujudkan Lingkungan dan Keluarga Ramah Anak" dengan tiga sub tema, yaitu bangun karakter anak Indonesia yang berkualitas dan berakhlak mulia. Wujudkan ketahanan keluarga untuk mendorong tumbuh kembang anak Indonesia yang sehat dan berprestasi. Serta mewujudkan rekonstruksi sosial dalam menciptakan lingkungan yang melindungi hak anak.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kalimantan Barat Alik R Rosyad mengatakan Pontianak dikatakan masih menuju kota layak anak. Kota Pontianak hanya mendapat Predikat menuju kota layak anak. Sudah empat tahun terakhir, dua kali mendapatkan kategori pratama dan dua kali kategori madya. Masih ada beberapa indikator yang Kota Pontianak tidak memenuhi. "Masih ada prostitusi pelajar, masih ada pekerja anak, trafficking, kekerasan, pencabulan dan sebagainya," ujar Alik.

 

Dikatakannya dari sekitar 31 indikator itu mungkin penilaian dari tim penilai Kota Pontianak masih memenuhi walaupun tidak 100 persen. 31 indikator yang terinci di antaranya adanya peraturan perundang-undangan untuk pemenuhan hak anak, persentase anggaran, tersedianya SDM terlatih dan mampu menerapkan kebijakan, data anak terpilah menurut umur dan sebagainya.

 

Berkenaan kasus kejahatan seksual dari pengaduan yang kami terima kasus kejahatan seksual selalu dominan daripada hak kuasa asuh/perebutan anak. "Kecendrungan ini selalu ada dan trendnya naik. Ada dua kemungkinan pertama secara kuantitas memang bertambah atau secara kuantitas tetap tetapi orang sudah mulai peduli, sudah mau mengadu dan melapor, karena kasus kejahatan seksual itu cenderung di anggap aib," terang Alik.

 

APA ITU KOTA LAYAK ANAK

 

Kota Layak Anak merupakan istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan tahun 2005 melalui Kebijakan Kota Layak Anak. Karena alasan untuk mengakomodasi pemerintahan kabupaten, belakangan istilah Kota Layak Anak menjadi Kabupaten/Kota Layak Anak dan kemudian disingkat menjadi KLA. Dalam Kebijakan tersebut digambarkan bahwa KLA merupakan upaya pemerintahan kabupaten/kota untuk mempercepat implementasi Konvensi Hak Anak (KHA) dari kerangka hukum ke dalam definisi, strategi, dan intervensi pembangunan seperti kebijakan, institusi, dan program yang layak anak.

Kota Layak Anak merupakan salah satu program yang dikembangkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemeneg PPPA). Indonesia sebagai Negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak (KHA), berkomitmen membangun Indonesia Layak Anak. Ratifikasi KHA disahkan dengan Keppres no 36/1990 tertanggal 25 Agustus 1990 dan terikat pada ketentuan-ketentuan KHA terhitung sejak 5 Oktober 1990. Upaya untuk mewujudkan Indonesia Layak Anak diawali dengan pengesahan UU no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada tanggal 22 Oktober 2002, Undang-undang ini berorientasi pada hak-hak anak seperti yang tertuang dalam Konvensi Hak-hak Anak. Selain itu, Indonesia juga telah ikut menandatangani World Fit  For Children Declaration (WFC) atau Deklarasi Dunia Layak Anak (DLA) pada tanggal 10 Mei 2002) pada saat Sidang Umum PBB ke-27 Khusus mengenai Anak (27 th United Nations General Assembly Special Session on Children).

Pada tahun 2004, Komitmen Indonesia tersebut selanjutnya dituangkan dalam ”Program Nasional bagi Anak Indonesia (PNBAI). Program ini menjadi acuan bagi semua pemangku kepentingan dalam pembangunan kesejahteraan dan perlindungan anak Indonesia. Terdapat 4 (empat) bidang pokok dalam PNBAI, yang mengacu kepada empat fokus program WFC, yaitu : promosi hidup sehat, penyediaan pendidikan yang berkualitas, perlindungan terhadap perlakuan salah, eksploitasi, dan kekerasan, serta penanggulangan HIV/AIDS. Pelaksanaan Program Nasional Bagi Anak Indonesia berdasarkan prinsip umum Konvensi Hak-hak Anak yang meliputi non-diskriminasi, kepentingan terbaik anak dan terpenuhinya hak-hak dasar anak (hak hidup, hak tumbuh dan berkembang, hak perlindungan, dan hak partisipasi).

Untuk mempercepat komitmen ini, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan dukungan dari Kementerian/Lembaga terkait mengembangkan Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA). Indonesia menjadikan perlindungan anak menjadi urusan wajib di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Kabupaten/Kota, yaitu : promosi hidup sehat, penyediaan pendidikan yang berkualitas, perlindungan terhadap perlakuan salah, eksploitasi, dan kekerasan, serta penanggulangan HIV/AIDS.

Untuk memperkuat kebijakan KLA, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah menerbitkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kebijakan Kabupten/Kota Layak Anak. Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak juga telah ditetapkan sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014. Selain itu, Presiden Republik Indonesia menginstruksikan ”Pengembangan Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak” sebagai salah satu prioritas program bidang perlindungan anak sebagaimana yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional 2010.

Sebagai pedoman lebih laniut dalam mengembangkan kabupaten/kota Layak anak, maka diterbitkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak Tingkat Provinsi dan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia nomor 11 tahun 2011 tentang Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak, dan nomor 14 tahun 2011 tentang Panduan Evaluasi Kabupaten/Kota Layak Anak. Kementerian PP-PA telah merintis pembentukan kota layak anak sejak 2006 dengan menyiapkan aturan pelaksanaan untuk tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota.

Untuk dapat dikategorikan sebagai kota layak anak daerah harus memenuhi persyaratan sebanyak 31 indikator yang diwujudkan, yang merujuk pada 5 klaster Konvensi Hak Anak untuk mendorong setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah menjadikan kepentingan terbaik anak menjadi dasar dalam penyusunan kebijakan, program, dan anggaran pemerintah kabupaten/kota. Di dalam Permen nomor 11 tahun 2011, KLA didefinisikan sebagai kabupaten/kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumberdaya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak,

Pengembangan KLA menurut pasal 5 Permen tsb adalah berdasakan prinsip tata pemerintahan yang baik, non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan anak, dan penghargaan terhadap pandangan anak. Sementara Kebijakan Pengembangan KLA menurut pasal 6 diarahkan pada pemenuhan hak anak, meliputi hak sipil dan kebebasan; lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; kesehatan dasar dan kesejahteraan; pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan budaya; dan perlindungan khusus. Adapun Strategi Pengembangan KLA di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota berupa pengintegrasian hak anak dalam setiap proses penyusunan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan dan dalam setiap tahapan pembangunan, mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi.

Kota Layak Anak dan atau Kota Ramah Anak kadang-kadang kedua istilah ini dipakai dalam arti yang sama oleh beberapa ahli dan pejabat dalam menjelaskan pentingnya percepatan implementasi Konvensi Hak Anak ke dalam pembangunan sebagai langkah awal untuk memberikan yang terbaik bagi kepentingan anak.

Pemekaran Daerah dan Kota Layak Anak

Pemekaran kabupaten dan kota merupakan buah dari otonomi daerah. Gejala ini sudah terasa sejak berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah tahun 2001. Tercatat sampai Agustus 2008 terdapat 471 kabupaten dan kota + 12 dalam proses pemekaran. Tujuan akhir dari pemekaran ini adalah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Makna dari tujuan akhir ini tersirat bahwa ‘perlindungan anak’ menjadi salah satu urusan wajib4 yang diserahkan oleh pemerintah ke pemerintah kabupaten dan kota akan semakin terwujud.

Namun yang menjadi pertanyaan apakah ‘anak’ menjadi pusat pembangunan di kabupaten dan kota? Karena selama ini pemerintahan kabupaten dan kota lebih memusatkan pada bidang ekonomi, politik dan infrastruktur, tanpa mempertimbangkan unsur kepentingan terbaik anak dalam pengambilan keputusan. Hal ini ditandai oleh belum berkembangnya wadah-wadah partisipasi anak yang dibangun di kabupaten dan kota guna mendengarkan dan menyuarakan pendapat dan harapan anak sebagai bentuk partisipasi anak dalam proses pembangunan. Padahal pembentukan wadah tersebut sudah menjadi perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah 2004-2009. Meskipun di beberapa kabupaten dan kota sudah ada Forum Anak, akan tetapi forum tersebut masih banyak intervensi orang dewasa.

Tantangan Pembentukan Kota Layak Anak

Delapan belas tahun yang lalu, Indonesia menyatakan komitmen untuk menjamin setiap anak diberikan masa depan yang lebih baik dengan ratifikasi Konvensi Hak Anak.5 Sejak itu tercapailah kemajuan besar, sebagaimana tercantum dalam laporan Pemerintah Indonesia mengenai Pelaksanaan Konvensi Hak Anak ke Komite Hak Anak, Jenewa,6 lebih banyak anak bersekolah dibandingkan di masa sebelumnya, lebih banyak anak mulai terlibat aktif dalam keputusan menyangkut kehidupan mereka, dan sudah tersusun pula peraturan perundang-undangan penting yang melindungi anak.7 Kondisi ini menjadi point penting dalam mempercepat pembentukan KLA.

Namun hasil yang dicapai ini tidak merata, dan berbagai kendala pun masih tetap ada, terutama di beberapa kabupaten dan kota yang tertinggal. Masa depan cerah bagi anak barulah merupakan ‘khayalan’ semata, dan pencapaian itu pada umumnya kurang memenuhi kewajiban pemerintah dan komitmen negara.

Keluarga sebagai unit dasar dari masyarakat yang menjadi penentu keberhasilan dalam mempercepat terwujudnya komitmen negara belum mendapat bantuan dan bimbingan secara teratur, terorganisasi, dan terjadwal. Tanggung jawab utama untuk melindungi, mendidik dan mengembangkan anak terletak pada keluarga. Akan tetapi segenap lembaga pemerintah dan masyarakat belum banyak membantu. Seharusnya lembaga tersebut menghormati hak anak dan menjamin kesejahteraan anak serta memberikan bantuan dan bimbingan yang layak bagi orangtua, keluarga, wali, dan pihak-pihak yang mengasuh anak supaya dapat tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan stabil serta suasana yang bahagia, penuh kasih dan pengertian. Selain itu, ada pemahaman yang berbeda-beda di kalangan orangtu mengenai arti anak. Pada sebagian orangtua memahami anak sebagai ‘amanah’ dan ‘titipan’ yang harus dilindungi dan dihargai. Sedangkan pada sebagian orangtua ‘anak’ sebagai ‘aset keluarga’ dan ‘anak harus mengerti orangtua8’. Pemahaman yang terakhir ini kadang-kadang anak menjadi korban perdagangan anak, eksploitasi ekonomi dan seksual, serta tumbuh dan berkembangnya terabaikan.

Sejumlah besar anak-anak hidup tanpa bantuan orangtua, misalnya anak yatim piatu, anak jalanan, anak pengungsi, dan anak yang tergusur dari tempat tinggalnya, anak korban perdagangan, anak korban eksploitasi ekonomi dan seksual, serta mereka yang berada di lembaga pemasyarakatan, belum mendapat perhatian dan perlindungan secara khusus. Hal yang sama juga dialami oleh lembaga sosial yang memberikan pelayanan kepada anak-anak tersebut kurang mendapat pembinaan dan apresiasi dari pemerintah dan masyarakat.

Persoalan lain yang cukup dasar adalah kemiskinan yang menjadi satu-satunya kendala terbesar yang merintangi upaya memenuhi kebutuhan, melindungi dan menghormati hak anak. Seharusnya hal ini mendapat perhatian dan sokongan dari pemerintah dan masyarakat. Akan tetapi, upaya untuk mengatasi persoalan ini di berbagai kabupaten dan kota belum terencana dengan baik dari penciptaan lapangan kerja, ketersediaan mikro-kredit sampai investasi di bidang infrastruktur. Anak-anak adalah warga yang paling terpukul oleh kemiskinan, karena kemiskinan itu sangat mendera mereka untuk tumbuh dan berkembang. Menurut Prof. Irwanto, PhD bahwa “Salah satu paradoks pembangunan manusia modern adalah diakuinya anak-anak sebagai masa depan kemanusiaan, tetapi sekaligus sebagai kelompok penduduk yang paling rentan karena sering diabaikan dan dikorbankan dalam proses pembangunan itu sendiri. Ketika ekonomi membaik dan pembangunan di segala bidang bergairah, kepentingan anak tidak menjadi prioritas. Akan tetapi, manakala ekonomi memburuk, konflik berkecamuk, kekacauan sosial berkembang di mana-mana, anak menjadi korban atau dijadikan tumbal untuk memenuhi kebutuhan orang dewasa”.

Dari sekian persoalan di atas yang unik adalah otonomi daerah. Sejak urusan wajib di bidang kesehatan, pendidikan, termasuk ‘perlindungan anak’ dan lainnya diserahkan oleh pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten dan kota, sangat berdampak pada pemenuhan hak anak. Muncul berbagai persoalan, seperti meningkatnya kasus gizi buruk, turunnya angka kelulusan baik di SD dan SMP maupun SMA/sederajat di beberapa kabupaten dan kota.

Namun dari sederetan persoalan yang mendera anak, secara nyata yang perlu dipahami oleh kita adalah penerimaan terhadap berbagai komitmen internasional yang disepakati oleh Negara untuk kemajuan anak Indonesia. Sebut saja Deklarasi Dunia dan Rencana Aksi dari World Summit for Children, The Dakar Framework: Education For All dari World Education Forum, Deklarasi Millennium Development Goals, Deklarasi dan Rencana Aksi World Fit for Children, dan yang terakhir Deklarasi dan Rencana Pembangunan Berkelanjutan dari World Summit on Sustainable Development. Semua kesepakatan itu tersimpan rapi di lemari dan laci para Delegasi Indonesia yang sesungguhnya mereka itu juga mempunyai keterbatasan dari segi keilmuan, penguasaan isu anak sampai komunikasi. Dokumen-dokumen tersebut belum tersosialisasi kepada pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, orangtua, dan anak. Sehingga hal ini melahirkan kesenjangan informasi di antara pihak yang terkait dengan komitmen internasional dengan perencana dan penyusun program di lapangan, karena semua kesepakatan internasional tersebut belum menjadi rujukan dalam perencanaan dan kebijakan program pembangunan. Hal ini wajar saja, jika kita menemukan pemahaman yang berbeda-beda di kalangan orangtua, keluarga, masyarakat, dan pemerintah kabupaten atau kota untuk “memenuhi hak anak” sesuai dengan Konvensi dan komitmen Negara. Karena mereka pada dasarnya belum mengetahui dan memahami apa yang sesungguhnya telah menjadi komitmen Negara di tingkat dunia.

Media masa belum mengambil peran secara proporsional. Isu-isu anak selalu kalah dalam berebut ‘kapling’ atau ruang di media masa, cetak maupun elektronik, dan selalu kalah bersaing dengan isu-isu politik yang mendominasi pemberitaan di media. Konsekuensi adalah bahwa opini dan pemahaman publik terhadap isu-isu anak tertinggal sangat jauh dari yang semestinya. Bila ditemui media yang mengangkat isu anak dalam segmen acara ataupun porsi pemberitaannya kesan yang timbul justru potensi pelecehan terhadap hak anak. Karena  menempatkan anak sebagai obyek program sehingga sangat banyak ditemui pemberitaan dan program dalam media masa yang justru menjauhkan anak-anak dari originalitas budayanya dan bahkan membuat anak-anak Indonesia terkontaminasi oleh budaya asing.

Dari uraian di atas, tergambar bahwa ada tantangan besar untuk mempercepat implementasi hak anak di tingkat orangtua, masyarakat, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional pada masa kini dan masa datang. Padahal masalah bukan hanya anak, namun, jika kita tidak segera berinisatif, dikhawatirkan kepentingan terbaik bagi anak terabaikan. Artinya, hak tumbuh dan berkembang mereka kurang optimal, yang akan berujung pada hilangnya satu generasi bangsa.

Kota dan (Layak) Anak

Berbagai penelitian yang dilakukan oleh para arsitek, perencana kota, perancang, psikolog, sosiolog, dan kriminolog yang berkaitan dengan anak dan kota, baik sebagai warga kota maupun pengguna ruang kota. 11 Penelitian tersebut dilakukan dengan beberapa alasan, antara lain kepentingan pemenuhan tugas akhir sebagai mahasiswa, dan kepentingan organsiasi atau lembaga dalam rangka proyek dan atau pembangunan kota. Bila ditelusuri, penelitian tentang anak dan kota telah berlangsung sejak tahun 1970-an sampai sekarang.

Penelitian yang sangat berpengaruh pada implementasi Konvensi Hak Anak dan kemudian diadopsi oleh UNICEF dan UNHABITAT melalui “Child Friendly City Inniciative”12 adalah penelitian yang dilakukan oleh Kevin Lynch, arsitek dari Massachusetts Institute of Technology. Penelitian dengan judul ”Persepsi anak terhadap ruang”13 dilaksanakan di 4 kota – Melbourne, Warsawa, Salta, dan Mexico City, dengan menggunakan metode pengamatan, wawancara dan menggambar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkungan kota yang terbaik untuk anak adalah yang mempunyai: komuniti yang kuat secara fisik dan sosial, komuniti yang mempunyai aturan yang jelas dan tegas; adanya pemberian kesempatan pada anak; dan fasilitas pendidikan yang memberi kesempatan anak untuk mempelajari dan menyelidiki lingkungan dan dunia mereka.

Dari sejumlah penelitian tersebut, yang sangat menarik bahwa anak, seperti halnya orang dewasa, dapat diajak kerjasama dan mengatasi persoalan-persoalan yang berhubungan dengan lingkungan kota (Adams & Ingham, 1998:51). Pemerintah dapat berkonsultasi dengan mereka, karena mereka mempunyai persepsi, pandangan dan pengalaman mengenai lingkungan kota tempat mereka tinggal. Dari mereka, pemerintah dan para pemangku kepentingan di bidang anak dapat menemukan kebutuhan atau aspirasi mereka untuk mempercepat implementasi Konvensi Hak Anak dan komitmen Negara lainnya di bidang anak.

Anak dapat membantu pemerintah dalam mendapatkan data mengenai lingkungan tempat tinggal, lingkungan masyarakat, lingkungan sekolah, tempat bermain, pelayanan transportasi dan pelayanan kesehatan. Anak akan memperoleh pengalaman yang tak ternilai dari pelibatan mereka. Melalui kegiatan pelibatan ini anak menjadi berfikir mengenai persoalan lingkungannya, dan dapat mengidentifikasi persoalan yang ada untuk didiskusikan dan dipecahkan bersama. Mereka juga dapat memberikan kontribusi dalam proses perencanaan dan pengembangan kota yang mereka harapkan (Adams & Ingham, Ibid).

Catatan lain yang perlu juga direnungkan apabila merujuk pada Konvensi Hak Anak, bahwa anak (Save the Children, 1996:13-15): 

  1. mempunyai hak untuk tempat tinggal – pasal 27 menegaskan hak setiap anak atas kehidupan untuk pengembangan fisik, mental, spritual, dan moral. Untuk itu orang tua bertanggung jawab mengupayakan kondisi kehidupan yang diperlukan untuk mengembangkan anak sesuai dengan kemampuan. Kondisi seperti ini sangat berbeda yang dialami oleh anak jalanan yang tidak mempunyai tempat tinggal dan terputus dengan orang tua.
  2. mempunyai hak untuk mendapatkan keleluasaan pribadi – tempat tinggal padat dan tumpang tindih di kota menjadikan anak merasa terganggu keleluasaan pribadinya. Kondisi seperti ini banyak dialami oleh anak-anak yang berasal dari keluarga miskin di kota, sehingga dampaknya adalah perasaan tertekan dan ketegangan pada diri anak. Keadaan ini dapat kurangi bila orang tua peduli terhadap keluarganya. Perumahan padat dapat menjadi salah satu faktor dalam perlakuan buruk terhadap anak atau kekejaman dan perlakuan salah secara seksual.
  3. mempunyai hak untuk mendapatkan rasa aman – keamanan fisik dan psikososial merupakan hal penting bagi anak yang ada di kota. Lemahnya penegakan hukum, meluasnya kekejaman dan kejahatan mempunyai dampak yang kuat terhadap anak dan remaja.
  4. mempunyai hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat – sanitasi buruk, kurangnya air bersih, kurangnya fasilitas toilet, dan banyaknya sampah memberi dampak yang serius terhadap kesehatan anak. Kondisi kota seperti ini menghadapi masalah serius terhadap tumbuh kembang anak, karena mereka muda terjangkit penyakit cacar, diare, ispa, tbc, dan penyakit lain yang sering dialami oleh warga yang tinggal di wilayah kumuh.
  5. mempunyai hak untuk bermain – ini artinya tersedia areal hijau dan ruang terbuka untuk bermain. Lokasi tempat bermain dengan rumah khususnya untuk anak kecil dan anak dengan kecacatan.
  6. mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan – setiap anak mempunyai hak dan kesempatan yang sama memperoleh pendidikan, sehingga perlu mendapat perhatian pemerintah kota kepada anak-anak yang tinggal di tempat illegal, karena tempat mereka tidak dilengkapi sekolah, begitu juga dengan anak yang ada di wilayah kumuh biasanya kualitas sekolahnya sangat buruk.
  7. mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan transportasi umum – mengakses tranportasi umum yang baik untuk semua merupakan hal yang esensial. Untuk memenuhi hak anak, bagaimana pun transportasi yang aman adalah berjalan kaki, naik sepeda atau mengakses transportasi yang tidak menghasilkan polusi dan ramah anak.

Prasyarat Mewujudkan KLA

Bertitik dari uraian penelitian di atas, untuk mewujudkan KLA, bukanlah hal yang mudah dan bukanlah hal yang sulit. Akan tetapi, ada semacam suatu pra-syarat untuk mencapainya. Pra-syarat yang dimaksud adalah:

  1. Adanya Kemauan dan komitmen pimpinan daerah: membangun dan memaksimalkan kepemimpinan daerah dalam mempercepat pemenuhan hak dan perlindungan anak yang dicerminkan dalam dokumen peraturan daerah.
  2. Baseline data: tersedia sistem data dan data dasar yang digunakan untuk perencanaan, penyusunan program, pemantauan, dan evaluasi.
  3. Sosialisasi hak anak: menjamin penyadaran hak-hak anak pada anak dan orang dewasa.
  4. Produk hukum yang ramah anak: tersusunnya sedia peraturan perundangan mempromosikan dan melindungi hak-hak anak.
  5. Partisipasi anak: tersedia wadah untuk mempromosikan kegiatan yang melibatkan anak dalam program-program yang akan mempengaruhi mereka; mendengar pendapat mereka dan mempertimbangkannya dalam proses pembuatan keputusan.
  6. Pemberdayaan keluarga: adanya program untuk memperkuat kemampuan keluarga dalam pengasuhan dan perawatan anak.
  7. Kemitraan dan jaringan: adanya kemitraan dan jaringan dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak.
  8. Institusi Perlindungan Anak: Adanya kelembagaan yang mengkoordinasikan semua upaya pemenuhan hak anak.

Mewujudkan KLA

KLA adalah kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Sebagai warga kota, berarti anak:

  1. keputusannya mempengaruhi kotanya;
  2. dapat mengekspresikan pendapatnya mengenai kota yang mereka inginkan;
  3. dapat berperan serta dalam kehidupan keluarga, komuniti, dan sosial;
  4. dapat mengakses pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan;
  5. dapat mengakses air minum segar dan tinggal di lingkungan dengan sanitasi yang baik;
  6. terlindungi dari eksploitasi, kekerasan dan penelantaran;
  7. merasa aman berjalan di jalan;
  8. dapat bertemu dan bermain dengan temannya;
  9. hidup di lingkungan yang bebas polusi;
  10. berperan serta dalam kegiatan budaya dan sosial; dan
  11. secara seimbang dapat mengakses setiap pelayanan, tanpa memperhatikan suku bangsa, agama, kekayaan, gender, dan kecacatan.

Kunci sukses untuk mewujudkan kota layak bagi anak adalah adanya keikhlasan dan ketulusan orang dewasa mengutamakan kepentingan terbaik anak. Fakta di lapangan menunjukkan, bahwa anak belum menjadi pertimbagan utama dalam proses penyusunan dan perencanaan pembangunan. Sehingga, dampak pembangunan kurang optimal untuk mempersiapkan suatu generasi yang tangguh. Pembangunan bidang pendidikan belum sinkron dengan pembangunan bidang kebutuhan pasar ketenagakerjaan. Pembangunan bidang infrastruktur belum menyentuh pada pemenuhan kebutuhan anak dan atau kelompok yang rentan. Penyediaan infrastruktur perkotaan masih mengabaikan kepentingan terbaik anak.

Ada dua arus yang berkembang pada saat kita menyusun dan merancang kota layak bagi anak. Pertama, harus adanya pengarustamaan hak anak dalam pembangunan. Arus ini menghendaki seluruh orang dewasa yang ada di setiap pemangku kepentingan (stakeholders) dalam proses penyusunan dan perencanaan pembangunan, sebelum mengambil dan memutuskan kebijakan, perlu mengajukan pertanyaan “Apakah sudah ada kepentingan terbaik bagi anak di dalamnya?” Jika belum ada, maka proses tersebut perlu ditinjau ulang, sehingga diketemukan adanya ‘kepentingan terbaik bagi anak’. Hal ini tidak sederhana, namun upaya untuk mewujudkannya, harus menjadi pertimbangan utama.

Kedua, pihak yang mengetahui ‘kepentingan terbaik anak’ adalah anak. Upaya yang perlu ditempuh untuk menggali kebutuhan adalah melalui partisipasi anak. Hal ini didasarkan pada pemikiran, bahwa yang paling tahu dan paham kepentingan anak adalah anak itu sendiri. Untuk itu, para pemangku kepentingan di bidang anak, berkomunikasi secara efektif dengan anak untuk menggali kebutuhan anak. Sehingga pada saat pengambilan keputusan sesuai dengan kepentingan anak.

Kemitraan dan Partisipasi

Untuk mewujudkan ‘KLA’ perlu diperkokoh kemitraan pemerintah dengan para pelaku lain yang akan memberikan kontribusi yang unik. Selain itu melalui kemitraan dan partisipasi ini akan mendorong pemanfaatan segala jalur partisipasi untuk mensejahterahkan dan meningkatkan perlindungan hak anak.

Kemitraan yang terbangun dapat saling berintegrasi dan bersinergi menjadi suatu kesatuan yang saling mengisi dan membutuhkan satu dengan lainnya. Kemitraan ini menurut the International Union of Local Authorites membentuk suatu lingkaran projek dengan proses perencanaan dan pelaksanaan melalui fase. Selanjutnya adalah pembagian peran apa yang dapat dilakukan oleh setiap individu dan institusi yang ada di perkotaan untuk mewujudkan KLA. Peran yang dimaksud harus sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimiliki oleh setiap individu dan atau institusi.

 

 

Disarikan dari berbagai sumber.