Skip to content

Pengembangan Ruang Publik Ramah Anak Menuju Kota Pontianak yang Layak Anak

Pengembangan Ruang Publik Ramah Anak  Menuju Kota Pontianak yang Layak Anak

Pendahuluan

Setiap kota memiliki ruang-ruang publik. Kata ‘publik’ menunjukkan adanya sifat dapat dinikmati dan diakses oleh semua pihak tanpa terkecuali, tanpa memperhatikan gender, usia, ataupun kemampuan fisik penggunanya. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika ruang publik harus mampu merespon kebutuhan penggunanya melalui desain yang sesuai atau responsive (Carr,1992).

Kota-kota di negara-negara maju telah mengindikasikan perancangan ruang publik yanglebih responsif sesuai dengan karakter penggunanya, tidak hanya bagi mereka yang normal saja tetapi juga bagi orang-orang dengan kemampuan yang berbeda. Ini ditunjukkan dengan adanya akses ruang publik bagi penyandang cacat, orang lanjut usia, anak-anak, dan lain sebagainya yang diwujudkan dengan perancangan ruang publik yang sesuai.

Lingkungan sekitar anak-anak merupakan tempat perkembangan hidup mereka secarafisik, sosial, dan mental. Pengaruh lingkungan baik dari keluarga, teman, dan masyarakat akan menentukan bagaimana seorang anak dapat tumbuh. Anak-anak mendapat perlindungan dan perhatian penuh ketika berada di dalam rumah sehingga dapat melakukan aktivitas dengan aman seperti belajar dan bermain dengan orang-orang terdekat serta beristirahat.

Aktivitas luar ruangan yang terjadi di sekitar rumah, lingkungan tempat tinggal, atau pun di tempat-tempat umum juga merupakan hal penting yang harus dialami oleh anak untuk dapat mengenal apa saja yang ada di sekitar mereka. Ruang-ruang luar rumah harus dibentuk sebagai wadah yang sesuai bagi anak-anak untuk menunjang perkembangan mereka. Ruang-ruang tersebut tidaklah harus berupa area bermain tetapi juga ruang-ruang publik yang dapat diakses dengan aman oleh siapapun termasuk anak-anak (Saragih, 2004).

Pengembangan kota yang sesuai dan aman (fit and safe) bagi anak-anak telah menjadi perhatian dunia. WHO dan UNICEF sebagai organisasi dunia bersama-sama mengkampanyekan program-program yang dapat dilakukan pemerintah lokal agar dapat menciptakan kondisi lingkungan yang aman bagi anak-anak. Program-program tersebut timbul sebagai reaksi dari maraknya pelanggaran terhadap hak-hak anak untuk hidup dan tumbuh secara layak. Kekurangan pangan, buruknya kesehatan, kekerasan pada anak, dan kerawanan timbulnya cedera menjadi fokus kampanye yang dilakukan kedua badan PBB tersebut. Cedera yang dialami oleh anak-anak di lingkungan perkotaan diakibatkan oleh keterbatasan fisik yang dialami oleh anak-anak danlingkungan yang tidak aman (WHO, 2008).

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia mengimplementasikan sejumlah konvensi dan kesepakatan internasional ke dalam konteks perencanaan dan pembangunan daerah. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2009 tentang Kebijakan Kota/ Kabupaten Layak Anak menjadi dasar bagi pemerintah kota dan kabupaten untuk menyusun strategi pembangunan guna mencapai predikat kota/ kabupaten layak anak (KLA). Kebijakan ini berlandaskan Konvensi Hak Anak tahun 1989 dan Deklarasi Dunia yang Layak untuk Anak (World Fit for Children).

Kekerasan pada anak dan kurangnya akses pemenuhan hak anak menjadi pertimbangan utama perlunya KLA. Hak anak yang perlu diperhatikan dan dijamin oleh pemerintah sebagaimana tersebut dalam Konvensi Hak Anak antara lain hak untuk tempat tinggal, hak untuk mendapatkan keleluasaan pribadi, hak untuk mendapatkan rasa aman, hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat, hak untuk bermain, hak untuk mendapatkan pendidikan, dan hak untuk memperoleh transportasi umum.

 

Anak dan Lingkungan Tempat Tinggal

 Hal yang perlu dilakukan agar anak akrab dengan lingkungan tempat tinggalnya antara lain adalah:

  • keluarga perlu melakukan penerapan kombinasi pola asuh antara otoriter, bebas dan demokratis secara seimbang dan konsisten, supaya kepercayaan diri anak tinggi.
  • rumah yang layak huni adalah rumah yang menjamin keamanan, ketenangan dan kenyamanan penghuni. syarat rumah layak huni adalah status kepemilikan jelas (milik sendiri, sewa, menumpang), kemudahan akses ke air bersih, listrik, adanya pengelolaan sampah dan perawatan saluran pembuangan air kotor. selanjutnya, rumah itu berada di lingkungan yang bebas polusi dan memiliki standar ventilasi yang cukup.

Menurut Sheridan Bartlett, ahli perkotaan dari City University Of New York dan The International Institute For Environment And Development, London (Bartlett, 2002), perlu adanya intervensi pencegahan terjadinya bahaya terhadap anak di tempat tinggal mereka, yaitu dengan melakukan modifikasi dan perbaikan di lingkungan tempat tinggal. Modifikasi atau perbaikan tersebut antara lain: menggunakan penerangan listrik daripada lilin atau minyak tanah yang mempunyai resiko besar terhadap terjadinya kebakaran; mengumpulkan sampah agar tidak menumpuk sehingga bibit-bibit penyakit tidak berkembang biak; mendesain kompor dan dapur yang aman, agar terhindar dari asap dan kebakaran; dan memperbaiki konstruksi pagar, tembok dan lain-lain.

Upaya perbaikan ini menurut Bartlett, perlu disusun suatu program kampanye untuk menyadarkan orang-tua dan orang dewasa tentang pentingnya perlindungan keselamatan anak. Program kampanye dapat memanfaatkan berbagai media, seperti media massa – koran dan televisi, pamflet, brosur dan lain-lain. Selain itu dapat dilakukan pula pelatihan terhadap orang-tua, polisi dan petugas lapangan tentang perlindungan dan hak anak.

 

Anak dan Lingkungan Masyarakat

Pada lingkungan masyarakat, diharapkan anak dapat lebih menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat, untuk itu perlu dilakukan adalah:

  • perlu ada inisiatif dan kemauan keras ketua RT dan RW untuk menjalankan organisasi dengan membentuk kegiatan-kegiatan yang berdampak langsung pada warga, khususnya anak-anak, seperti kerja bakti (membersihkan sampah dan saluran pembuangan air kotor), dan siskamling. Tanpa inisiatif dan kemauan tersebut, warga kota, menurut Parsudi Suparlan (Suparlan, 1996:3-44) menjadi bercirikan individualisme tinggi. Warga kota dengan ciri ini sangat sukar untuk diajak bekerjasama;
  • menjaga sanitasi lingkungan, karena berdampak langsung pada kesehatan lingkungan, terutama terhadap anak-anak yang rentan terhadap berbagai resiko yang ditimbulkan oleh lingkungan; dan
  • untuk menjadikan lingkungan masyarakat sebagai tempat yang baik bagi anak untuk tumbuh dan kembang, pemerintah kota perlu melakukan perbaikan-perbaikan. Menurut Bartlett, anak-anak memahami apa yang menjadi kebutuhan mereka di lingkungannya. Anak-anak merekomendasikan dan memprioritaskan hal-hal penting yang perlu mendapat perhatian dari orang dewasa, assosiasi masyarakat dan pemerintah kota.

Untuk memperbaiki masyarakat mereka. Perlu ada perbaikan, perawatan dan pembaharuan terhadap saluran air, toilet yang tidak bau, bebas bau sampah; tempat bermain dan rekreasi yang terang, bersama anak menentukan lokasi yang sesuai untuk tempat bermain yang dekat dengan rumah dan sekolah; dan perlu melakukan pengamanan yang ekstra di lingkungan yang pendapatan rendah, dan memasang pengumuman tentang pemberian perlindungan terhadap anak dari pembunuhan, kekerasan dan abuse.

 

Anak dan Lingkungan Sekolah

Lingkungan sekolah yang diharapkan anak adalah sebagai berikut:

  • mempunyai ruang WC yang menjadi salah satu fasilitas yang penting di sekolah, sehingga perlu dipertimbangkan keberadaan dan kebutuhannya. Anak-anak keberatan jika ruang WC anak perempuan dan anak laki-laki disatukan. Dengan demikian akan melindungi anak-anak perempuan dari pelecehan seksual;
  • desain bangunan sekolah bertingkat perlu dilengkapi ruang bermain bagi anak yang aman dan nyaman di setiap lantai;
  • waktu sekolah pagi dan petang dipertimbangkan untuk diterapkan secara bergantian, karena sangat berpengaruh pada proses belajar mengajar dan kualitas murid. Sebagian besar murid-murid sekolah petang kurang optimal mengikuti pelajaran, karena energi yang berkurang dan udara panas mempengaruhi daya serap anak terhadap pelajaran;
  • perlu menggunakan metode Cara Belajar Siswa Aktif atau metode lain yang memberi kesempatan anak untuk berdiskusi, perlu diterapkan agar anak-anak terlatih mengemukakan pendapat atau gagasannya;
  • penyusunan peraturan dan tata tertib sekolah, pimpinan sekolah dan guru perlu mengikutsertakan murid-murid, sehingga memiliki legitimasi yang kuat saat diterapkan dan ditegakkan. Kegiatan ini melatih anak-anak mengenai kehidupan berdemokrasi yang saling mendengar, dan menghargai pendapat orang lain; Anak memiliki potensi dalam menyusun peraturan dan tata tertib yang menyangkut kehidupan sendiri; contoh, melalui bermain mereka menyusun peraturan yang disepakati dan dijalankan bersama, dan jika ada yang melanggar, jelas ada sanksinya. Contoh lain adalah pembagian tugas piket kebersihan yang mereka susun bersama ketua kelas, dijalankan secara bersama-sama; dan
  • mempunyai “program makan di sekolah”, karena anak banyak mendapatkan keuntungan yang dapat diperoleh dari program tersebut, selain mengembalikan energi anak yang terpakai selama belajar, juga dapat meningkatkan gizi anak, yang mungkin di rumah kurang memperoleh asupan makan yang bergizi. Kegiatan tersebut menjadi ajang anak-anak saling bersosialisasi baik dengan teman sekelas atau lain kelas. Di Indonesia, program ini pernah dilaksanakan melalui program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah, tetapi dihentikan sejalan dengan berakhirnya program Jaring Pengaman Sosial. Program makan di sekolah semacam itu juga dilaksanakan oleh sekolah-sekolah seperti di Jepang dan Malaysia.

 

Anak dan Lingkungan Bermain

Pemerintah perlu mempelajari cara anak memenuhi hasratnya mendapatkan tempat bermain dengan mengikuti cara anak, dan bersedia bekerjasama dengan anak untuk menata ruang yang ada. Menurut Hendricks (Hendricks: 2002:14) perencanaan taman bermain yang ramah terhadap anak harus mempertimbangkan hasil konsultasi dengan anak, seperti bagaimana mereka menggunakan ruang dan apa yang mereka ingin lakukan, sehingga dalam proses pengembangannya tidak perlu melakukan pengekangan terhadap anak. Proses konsultasi dengan anak harus dilakukan dengan baik seperti yang dilakukan terhadap orang dewasa. Di beberapa negara seperti Inggris, Belgia dan Belanda, telah banyak contoh konsultasi yang dilakukan dengan anak mengenai tempat bermain (Hendricks: 2002:14).

Topik penting yang perlu diperhatikan oleh perencana dan perancang ketika melakukan diskusi dengan anak mengenai pembangunan taman bermain adalah masalah keselamatan anak. Ada dua persoalan yang terkait dengan keselamatan anak:

  • dibutuhkan tindakan pencegahan dan tenaga profesional yang berpengalaman untuk menjamin bahwa ruangan terbebas dari hal-hal berbahaya yang bisa menyebabkan anak-anak mendapatkan luka serius; dan
  • orang dewasa, khususnya orang-tua anak dan pengawas tempat bermain diduga juga berpotensi untuk membahayakan keselamatan anak dan membuat anak takut. Persoalan ini menyangkut kasus child abuse.

Selain itu, perencana dan perancang perlu mempertimbangkan pengamanan dan pengawasan terhadap anak. Menurut Sheridan Bartlett, dengan mempertimbangkan pengamanan dan pengawasan terhadap tempat bermain anak, sehingga memungkinkan mereka merasa tenang dan nyaman. Pemerintah kota perlu mempertimbangkan pengamanan dan pengawasan di tempat bermain; meningkatkan keselamatan anak di tempat bermain; dan termasuk melakukan kampanye terhadap larangan penggunaan bahan berbahaya pada alat-alat permainan.

 

Perspektif Anak dalam Perencanaan Pembangunan Kota Pontianak

Berdasarkan UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, baik pemeirntah pusat maupun pemerintah daerah diwajibkan memiliki dokumen perencanaan pembangunan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Adanya hirarki waktu dalam dokumen perencanaan tersebut menyebabkan harus dibangun bukan hanya konsistensi dan sinergi antar jenjang dokumen tersebut saja akan tetapi yang lebih penting adalah konsistensi dan sinergitas substansi dari dokumen-dokumen yang ada. Kondisi ini memberikan implikasi bahwa didalam proses perencanaan setiap dokumen tersebut harusnya memiliki kaidah, norma dan standar tertentu yang menjamin terciptanya konsistensi dan sinergitas substansi. Khusus untuk pemerintah kota, haruslah terjaga konsistensi dan sinergitas antara dokumen perencanaan di level pemerintah kota dengan dokumen perencanaan yang dihasilkan oleh SKPD yang menjadi bagian dari organisasi perangkat daerah kota.

Untuk mencapai integrasi kaidah perencanaan berbasis anak dalam dokumen perencanaan pembangunan yang ada, perlu dilakukan dengan memasukkanya dalam setiap pendekatan perencanaan yang jamak dilalui dalam pada proses perencanaan pembangunan. Berdasarkan Undang-Undang  Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional pendekatan perencanaan yang dilakukan dalam proses perencanaan pembangunan adalah:

Pendekatan Politik:

Pemilihan Kepala Daerah menghasilkan rencana pembangunan hasil proses politik (public choice theory of planning), khususnya pejabaran Visi dan Misi dalam RPJM/D, dalam tahapan ini kaidah, norma dan standar perencanaan dimasukkan untuk memberikan arah kebijakan pembangunan berbasis anak yang jelas dalam substansi dokumen yang dihasilkan.

Proses Teknokratik:

Dalam tahapan ini proses integrasi dilakukan dengan cara menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu. Sehingga dihasilkan program dan kegiatan yang telah mengakomodir kaidah-kaidah perencanaan berbasis anak.

Partisipatif:

Pada tahapan ini integrasi dilakukan dengan cara memberikan pemahaman kepada masyarakat dan mengikutsertakan anak sebagai bagian dari stakeholdersyang terlibat dalam proses Musrenbang, sehingga keinginan dan kebutuhan anak dapat didengar dan dimatangkan dalam proses perencanaan.

Proses Bottom-Up dan Top-Down :

Pada tahapan ini dilakukan dengan cara konsultansi dan asistensi usulan program kegiatan sehingga kaidah pembangunan berbasis anak yang telah dialukan dalam proses bottom up dapat sienrgis dengan program kegiatan yang berasal dari proses top down.

 

Mekanisme selanjutnya adalah memastikan bahwa dalam setiap tahapan perencanaan dan penganggaran program dan kegiatan pembangunan telah mempertimbangan dan memasukkan kaidah perencancaan berbasi anak. Hal ini untuk menjaga konsistensi substansi dari setiap jenjang/hirarki perencanan yang ada sebagaiman terlihat dalam gambar berikut:

Alur Perencanaan dan Penganggaran

 

 

 

Dalam Perda No. 6 Tahun 2014 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Pontianak 2015-2019 digariskan bahwa:

  1. Pembangunan dilaksanakan untuk pencapaian visi pembangunan kota Pontianak 5 tahun yang tertuang dalam 5 misi
  2. Prioritas pembangunan dijabarkan kedalam Agenda prioritas (sektoral) dan program-program kewilayahan yang bersifat tahunan

 

Dokumen tersebut  juga menggariskan bahwa dalam kurun waktu 2015-2019 visi pembangunan kota pontianak adalah  “Pontianak Kota Khatulistiwa Berwawasan Lingkungan, Terdepan dalam Kualitas Sumber Daya Manusia, Prima dalam Pelayanan Publik, Didukung dengan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Bersih”. Penjabaran visi tersebut dalam kaitannya dengan perspektif anak, dituangkan dalam misi pertama yaitu Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang religius, cerdas, sehat, berbudaya dan harmonis dan misi keempat yaitu ”Mewujudkan tata ruang kota berwawasan lingkungan yang nyaman dan layak huni”. Strategi yang ditempuh dari masing-masing-masing misi tersebut adalah:

Kebijakan Misi Pertama

Dalam kaitannya dengan perspektif anak dalam pembangunan kota Pontianak, secara gambalang dijabarkan dalam tujuan ketiga dalam misi pertama RPJM Kota Pontianak 2015-2019 yaitu “Meningkatkan keberdayaan masyarakat”. Salah satu arah kebijakan yang digariskan dalam rencana startegis ini adalah menjadikan kota Pontianak Layak Anak sebagaimana tergambar dalam tabel berikut ini:

 

 
 

Tujuan

Sasaran

Strategi

Arah Kebijakan

Indikator Capaian

Program Pembangunan

3

Meningkatkan keberdayaan masyarakat

Meningkatnya perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak dalam pembangunan

 

 

Meningkatkan kualitas hidup perempuan dan anak

 

 

Meningkatkan perlindungan perempuan dan peningkatan kesetaraan gender

 

 

Prosentase penanganan kasus KDRT perempuan dan anak

Peningkatan Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan

 

 

Terwujudnya pembangunan dengan responsif gender

Peningkatan Kualitas Hidup dan Perlindungan anak

 

 

Jumlah peserta aktif dalam sosialisasi PUG

Peningkatan Peran Serta dan Kesetaraan Gender dalam Pembangunan

 

 

 

 

Menjadikan kota Pontianak Layak Anak

Terwujudnya Pontianak sebagai Kota Layak Anak

Program Peningkatan Kualitas Hidup dan Perlindungan anak

 

Kota Pontianak merupakan salah satu kota yang dinilai memperlihatkan komitmen penuh terhadap pengembangan kota dengan memperhatikan aspek kebutuhan anak. Hal ini tercermin dari penghargaan yang diperoleh kota Pontianak sebagai kota layak anak. Prestasi tersebut tidak terlepas dari kebijakan pembangunan Kota Pontianak yang memberikan dukungan terhadap konsep kota layak anak, diantaranya:

  1. Penyediaan Sarana dan Prasana Perkotaan untuk mendukung aktivitas anak, berupa:
  • Komitmen Penyediaan RTH 30% dari luas wilayah (20% publik) à Perda No. 2 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pontianak 2013-2033 à Masterplan RTH : penyediaan RTH aktif berupa taman bermain di setiap kecamatan dan pusat-pusat lingkungan
  • Komitmen penyediaan rumah layak huni à bantuan perbaikan rumah tidak layak huni
  • Peningkatan kualitas sarana  dan prasarana pendidikan : regrouping sekolahàfasilitas lengkap, beasiswa bagi anak miskin àkemudahan akses, bantuan peralatan sekolah bagi anak miskin, serta perbaikan sanitasi sekolah dan pembinaan siswa berprestasi
  • Peningkatan kualitas sarana dan pelayanan puskesmas : peningkatan sarana RS dan optimalisasi puskesmas, Jamkesmas & Jamkesko à peningkatan akses pelayanan kesehatan

 

  1. Regulasi dan Kelembagaan yang menunjang program kota layak anak, dinataranya berupa:
  • Perda No. 6 Tahun 2014 tentang RPJM Kota Pontianak 2015-2019 à visi dan misi pembanguunan kota pontianak
  • Perda No. 13 tahun 2011 tentang Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah à Perwa No. 65 Tahun 2011 à Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, Anak dan KB
  • Renstra dan Renja Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, Anak dan KB à program perlindungan anak dan perempuan :

            -  pembinaan anak dan penanggulangan kenakalan remaja

            -  Forum Anak Daerah

            -  Pengembangan Kota Layak Anak

            -  Penanganan Kasus KDRT Anak

 

Menuju Pontianak Kota Layak Anak

Kota Layak Anak (KLA) adalah upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak dalam pembangunan kota melalui pengintegrasian komitmen dan sumberdaya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh (holistik) dan berkelanjutan (sustainable). Kebijakan KLA bersifat dinamis sehingga memungkinkan untuk dilaksanakan di wilayah yang infrastrukturnya telah lengkap maupun yang masih kurang. Hal-hal yang secara operasonal diperlukan namun belum diatur dalam kebijakan KLA ini maka terbuka kemungkinan untuk diadakan perbaikan sesuai dengan perubahan sosial dan dinamika kebutuhan masyarakat dan anak. Diharapkan dengan gerak langkah bersama yang sinergis antar komponen yang berkenaan dengan pengembangan kota layak anak di Pontianak dapat memberikan hasil yang optimal sehingga dapat menciptakan kota Pontianak yang bersahabat dan layak bagi anak-anak yang hidup di dalamnya.

Kota Pontianak sudah menyandang predikat KLA, dari yang sebelumnya Pratama menjadi Madya. Ke depan Kota Pontianak menargetkan akan meraih predikat lebih tinggi lagi yakni Nindya. Sebagai kota berpredikat Kota Layak Anak (KLA), Pontianak terus berbenah meningkatkan sarana dan prasarana untuk memberi ruang bagi anak-anak. Mulai dari taman-taman kota, fasilitas sarana bermain anak, fasilitas sekolah, sarana olahraga hingga zona aman sekolah bagi keselamatan anak-anak dalam berlalulintas.

 

Pengembangan Ruang Terbuka Ramah Anak

Taman tempat penting bagi anak mengeksplorasi, bersosialisasi, bermain, dan juga belajar. Tapi taman yang ramah untuk anak sulit ditemui di Ibu Kota. Akhirnya mereka bermain di lokasi yang sebenarnya bukan untuk bermain. Seperti di gang pemukiman, trotoar, bahkan tempat parkir. Padahal, salah satu kriteria Kota Layak Anak adalah tersedianya ruang publik terbuka yang ramah anak.

Menurut pakar pendidikan, pada masa perkembangannya anak memahami lingkungan sekitarnya dengan cara bermain. Untuk itu anak melihat lingkungan sekitarnya sebagai potensi bagi mereka untuk yang dinikmati dengan cara mereka sendiri. Lingkungan sekitar menjadi sumber informasi belajar yang memperkaya khasanah berpikir dan kreativitas anak.

Untuk itu sedianya, ruang tumbuh kembang anak yang baik adalah ruang yang mampu menyediakan informasi bermain dan belajar untuk anak secara maksimal. Hal ini menarik peneliti, karena anak dan ruang menimbulkan perilaku interaksi timbal balik yang unik untuk diamati. Untuk itu perlu dikembangkan sebanyak mungkin sebuah taman/ruang publik yang ramah terhadap kebutuhan anak.

Ruang Publik Ramah Anak adalah sebuah taman yang didesain dengan konsep modern yang disesuikan dengan daya interaksi anak yang dilengkapi berbagai sarana prasarana pendukung seperti Gazebo/pendopo untuk tempat belajar/pentas anak-anak, sarana olah raga, sekretariat forum anak, Taman Bacaan Masyarakat (TBM), jaringan internet / wifi, toilet, dll. Dengan demikian diharapkan ruang publik tersebut dapat menjadi pusat interaksi publik sekaligus sebagai media pembelajaran dan pengembangan minat dan bakat anak-anak.

Bagaimana sebenarnya esensi dari bermain dapat memberikan pengaruh terhadap ruang ? Dalam teori yang dikemukakan oleh Bernard Tschumi tentang Event Space yang mengungkap tentang keterkaitan“ event, space, and movement” berusaha untuk menjelaskan tentang kejadian serta keterkaitannya kejadian atau ritual (event) yang mengakibatkan terjadinya ruang.

Mengacu pada teori Bernard Tschumi tersebut, maka ruang tidak hanya dimengerti sebagi eksistensi fisik yang kasat mata, namun dapat pula digambarkan bahwa ruang terdiri atas layer–layer terselubung yang merupakan ritualritual yang mewujudkan ruang. Bermain yang dikatakan sebagai sebuah wujud dari kegiatan yang merupakan wujud sebuah kejadian (event) yang notabene berarti pula memicu terjadinya ruang tersebut.

Melihat teori di atas maka untuk dapat membuat sebuah ruang publik yang ramah anak, setidaknya terdapat 4 aspek yang harus diperhatikan dalam merencanakan/mendesain ruang publik yang ramah anak, yaitu:

 

  1. Terseddia Aktivitas Interaktif (Interactive Activities), kegiatan–kegiatan yang mampu memacu anak untuk betah bermain adalah adanya permainan yang bersifat interaktif yang memacu anak untuk terus bernalar dan terus bermain Kegiatan yang bersifat interaktif biasanya akan menarik perhatian anak, karena sifat dari permainan tersebut adalah mengaktifkan indera manusia dengan adanya umpan balik (feedback) dari elemen bermain tersebut.
  1. Terdapat Elemen Kejutan (The Element of Surprises) dalam ruang publik tersebut. Adanya elemen kejutan yang terjadi berkala secara rhytmis menimbulkan atraksi yang menyenangkan dan dinantikan oleh anak–aak. Hal yang serupa (the element of surprises) sebenarnya terjadi pula dalam atraksi kembang api yang dimainkan di Disneyland, yang membuat anak– anak tertarik dan betah untuk melihatnya . Bahkan event itu sangat dinantikan oleh anak–anak dan orang dewasa.
  1. Terdapat Ikatan Emosi (Emotional Bond) antara ruang publik tersebut dengan penggunanya. Kolam ikan, kolam renang, dan air mancur merupakan atraksi– atraksi ruang yang memiliki ikatan emosi dengan anak. Ada beberapa elemen ruang publik yang memiliki karakter yang lebih “puitis/poetic” bagi anak– anak . Sebaliknya ruang yang gelap, sempit, dan lorong – lorong yang panjang cenderung dihindari oleh anak–anak karena menimbulkan rasa takut dan tersesat.
  1. Faktor keselamatan dalam Bermain (Safety In Play). Dalam merencanakan/mendesain ruang publik hendaknya aspek keselamatan dan keamanan menjadi hal penting yang harus diperhatikan. Untuk itu, tindakan preventif seperti menggagas elemen-elemen desain yang aman maupun menyediakan factor keselamatan seperti menyediakan petugas sekuriti pada tempat – tempat yang rawan dan menarik anak untuk bermain sangatlah diharapkan untuk mendukung fenomena bermain di ruang publik.

 

Konsep penyediaan ruang publik berupa taman yang ramah anak sebenarnya bukanlah hal baru. Program tersebut telah dilaksanakan oleh Pemerintah DKI Jakarta. Pada tahun 2015 Pemerintah DKI Jakarta menggalang program kerja untuk mendirikan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA). Ruang ini dibuat sebagai tempat aman dan nyaman bagi anak-anak. Pemerintah kerjasama dengan beberapa pihak menggunakan anggaran corporate social responsibility (CSR). Saat ini Jakarta baru memiliki 6 RPTRA, targetnya adalah sebanyak 60 dan tahun depan menjadi 150.

Dalam pembangunan RPTRA Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga menjalin kerjasama dengan 11 perusahaan swasta dan 5 perguruan tinggi, hal ini guna mewujudkan Jakarta sebagai kota layak anak. Sebanyak 11 perusahaan swasta tersebut mayoritas bergerak dibidang properti, diantaranya seperti Agung Sedayu Group, Summarecon Agung, Agung Podomoro, Ciputra, Intiland Development, PT Djarum (Bli-bli.com), Metropolitan Kencana, Barito Pacific, Alfa Goldland (Alam Sutra), Nestle Indonesia, Dharma Suci. Sementara perguruan tingginya adalah Universitas Indonesia, Universitas Hamka, Unversitas Mercu Buana, Universitas Ibnu Chaldun, dan Univeritas Bunda Mulia. Selain itu, sejumlah perusahaan swasta tersebut, akan membangun RPTRA melalui program corporate social responsibility (CSR) perusahaan masing-masing, sementara perguruan tinggi membantu penambahan personil dalam kegiatan pemetaan sosial untuk merancang RPTRA yang tepat sasaran sesuai dengan lokasi yang akan dibangun.

Berkaca dari keinginan Kota Pontianak menjadi sebuah kota yang layak anak, sudah selayaknya Pemerintah Kota Pontianak mulai memperbanyak fasilitas-fasilitas yang mendukung aktivitas anak-anak. Fasilitas-fasilitas tersebut dapat berupa ruang-ruang publik seperti taman-taman bermain yang ramah anak di seantero pelosok kota. Minimal setidaknya disediakan satu taman layak anak untuk satu kelurahan sehingga dapat menjadi ruang bermain interaktif bagi anak-anak di wilah tersebut. Disisi lain, keinginan Pemerintah Kota Pontianak untuk mencukupi Ruang Tebuka Hijau sebanyak 30% dari luasan wilayah kota niscaya akan tercapai melalui program ini.