Skip to content

Tingkatkan Daya Saing dalam Pertarungan Ekonomi Global, Pemerintah Luncurkan Paket Kebijakan Ekonomi XI

Tingkatkan Daya Saing dalam Pertarungan Ekonomi Global, Pemerintah Luncurkan Paket Kebijakan Ekonomi XI

 

Sebagai lanjutan dari serial paket kebijakan ekonomi nasional yang dirancang untuk mendorong laju percepatan pembangunan perekonomian nasional, Pemerintah Pusat telah mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi Jilid XI pada Selasa (29/3) kemarin. “Di tengah perekonomian global yang masih lesu, Indonesia terus berusaha meningkatkan daya saing dan mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution di Istana Kepresidenan, Jakarta.

Karena itu pemerintah kembali mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi  XI untuk memberi stimulus terhadap perekonomian nasional. Kali ini, kebijakan pemerintah menyentuh beberapa sektor yang melibatkan pengusaha kecil maupun industri.

 

Kredit Usaha Rakyat Berorientasi Ekspor (KURBE)

Latar Belakang

Fasilitas kredit ini diberikan sebagai stimulus kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) untuk meningkatkan daya saing produk ekspor UMKM berbasis kerakyatan. Melalui fasilitas kredit ini diharapkan kualitas dan nilai tambah produk ekspor UMKM lebih meningkat.

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memiliki potensi dan keunggulan kreativitas dalam menghasilkan produk-produk ekspor yang juga merupakan upaya untuk penganekaragaman produk ekspor Indonesia. Upaya untuk mengekspor produk UMKM masih terkendala, terutama masalah pembiayaan, serta masalah dalam kapasitas UMKM yang menyangkut Sumber Daya Manusia, pemasaran, dan pemenuhan standar perdagangan internasional yang ketat.

KURBE menyediakan fasilitas pembiayaan ekspor yang lengkap dan terpadu untuk modal kerja (Kredit Modal Kerja Ekspor/KMKE) dan investasi (Kredit Investasi Ekspor/KIE) bagi UMKM. Dengan tingkat suku bunga 9% tanpa subsidi, penyaluran kredit ini bakal ditangani Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia/LPEI (Indonesia Exim Bank).

 

Tujuan dan Manfaat

Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan stimulus kepada UMKM untuk meningkatkan ekspor nasional. Selain itu akan memberikan manfaat meningkatkan daya saing produk ekspor UMKM berbasis kerakyatan serta meningkatkan kualitas dan nilai tambah produk ekspor.

 

Pokok-pokok Kebijakan

Beberapa kebijakan yang digariskan untuk memperkuat UMKM adalah menyediakan fasilitas pembiayaan ekspor yang lengkap dan terpadu untuk modal kerja (Kredit Modal Kerja Ekspor/KMKE) dan investasi (Kredit Investasi Ekspor/KIE) bagi UMKM. Selian itu juga dilakukan penyaluran pembiayaan kepada skala UMKM yang berorientasi ekspor (UMKM Ekspor), dilakukan oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia/LPEI (Indonesia Eximbank).

 

Hal lain yang diupayakan adlaah menetapkan tingkat suku bunga sebesar 9 persen p.a efektif (tanpa subsidi), serta menetapkan batas maksimal pembiayaan yang dapat diberikan dengan ketentuan (a) KURBE Mikro : maksimal-plafond sebesar Rp 5 Miliar; (b) KURBE Kecil : maksimal-plafond sebesar Rp 25 Miliar (dengan ketentuan maksimal KMKE sebesar Rp 15 Miliar); dan (c) KURBE Menengah : maksimal-plafond sebesar Rp50 Miliar (dengan ketentuan maksimal KMKE sebesar Rp 25 Miliar).

 

Jangka Waktu KURBE paling lama 3 tahun untuk KMKE dan/atau 5 tahun untuk KIE dengan sasaran utamanya adalah supplier/plasma yang menjadi penunjang industri dan industri/usaha dengan melibatkan tenaga kerja yang cukup banyak sesuai dengan skala usahanya.

 

Fasilitas Pajak Penghasilan dan Bea Perolehan Atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) Untuk Penerbitan Dana Investasi Real Estat (DIRE)

 

  1. Latar Belakang

Perlambatan pertumbuhan ekonomi dan pelemahan nilai tukar Rupiah selama empat tahun terakhir telah menyebabkan kegiatan real estat menurun sejak Tahun2014. Sementara sektor real estat merupakan salah satu sektor padat karya. Untuk menghimpun dana demi perluasan usaha, beberapa pengusaha real estat Indonesia menerbitkan Real Estate Investment Trust (REITs) atau DIRE di pasar modal negara tetangga. Sedangkan jumlah DIRE di dalam negeri sangat rendah, hanya ada 1 DIRE yang diterbitkan sejak 2012. DIRE di Indonesia tidak menarik karena adanya pengenaan pajak berganda dan tarif pajak yang lebih tinggi dari negara tetangga.

Untuk meningkatkan penerbitan DIRE di dalam negeri, pada Paket Kebijakan Ekonomi V telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200 Tahun 2015 tentang Perlakuan Perpajakan bagi Wajib Pajak dan Pengusaha Kena Pajak yang Menggunakan Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu Dalam Rangka Pendalaman Sektor Keuangan. PMK ini sudah menghapus pengenaan pajak berganda dalam penerbitan DIRE, tapi belum meningkatkan daya tarik penerbitan DIRE di Indonesia karena tarif pajak yang dikenakan masih lebih tinggi dari negara tetangga.

 

  1. Tujuan dan Manfaat

 

Percepatan pengembangan DIRE di tanah air ditujukan untuk mendorong pendalaman sektor keuangan melalui peningkatan kapitalisasi pasar modal. Pada giliran selanjutnya dapat memperkuat peran bursa efek sebagai alternatif sumber dana jangka panjang.

 

Selain itu, penerbitan DIRE dengan biaya yang relatif rendah memberikan manfaat peningkatan efisiensi dalam penyediaan dana investasi jangka panjang. Hal ini akan menunjang percepatan pembangunan infrastruktur dan perumahan sesuai Program Jangka Menengah Nasional 2015-2019.

 

  1. Pokok-pokok Kebijakan

 

Beberapa kebijakan yang digariskan dalam kaitannya dengan Percepatan pengembangan DIRE ini adalah menurunkan tarif PajakPenghasilan (PPh) final dan tarif BPHTB selama beberapa tahun melalui penerbitan Peraturan Pemerintah mengenai Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Real Estat Dalam Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu yang mengatur pemberian fasilitas Pajak Penghasilan final berupa pemotongan tarif hingga 0,5 persen dari tarif normal 5 persen kepada perusahaan yang menerbitkan DIRE.

 

Selain itu juga dialkukan penerbitan Peraturan Pemerintah mengenai Insentif dan Kemudahan Investasi di Daerah yang antara lain mengatur penurunan tarif BPHTB dari maksimum 5 persen menjadi 1 persen bagi tanah dan bangunan yang menjadi aset DIRE.

 

Untuk mendorong dua hal di atas, juga diupayakan penerbitan Peraturan Daerah (Perda) bagi daerah yang berminat untuk mendukung pelaksanaan DIRE di daerahnya.

 

Percepatan pengembangan DIRE di tanah air ini ditujukan untuk mendorong pendalaman sektor keuangan melalui peningkatan kapitalisasi pasar modal. Kebijakan ini juga dapat memperkuat peran bursa efek sebagai alternatif sumber dana jangka panjang.

 

Diharapkan dengan penerbitan DIRE dengan biaya yang relatif rendah juga meningkatkan efisiensi dalam penyediaan dana investasi jangka panjang. Hal ini akan menunjang percepatan pembangunan infrastruktur dan perumahan sesuai Program Jangka Menengah Nasional 2015-2019.

 

Sektor Logistik: Pengendalian Risiko untuk Memperlancar ArusBarang di Pelabuhan (Indonesia Single Risk Management – ISRM)

 

  1. Latar Belakang

Arus barang di pelabuhan masih terhambat sehingga perlu dilakukan pengendalian risiko untuk memperlancar arus barang di pelabuhan (Indonesia Single Risk Management, ISRM).

Ada beberapa hal yang menjadi kendala dalam hal customs clearence dan cargo release di pelabuhan, di antaranya: (1) pelayanan atas perijinan  ekspor impor oleh Kementrian/Lembaga (K/L) pada kondisi tertentu yang bersifat transaksional memerlukan waktu lama; (2) adanya perlakuan pelayanan yang berbeda-beda atas Pengguna Jasa yang sama di setiap K/L, sehingga menimbulkan ketidakpastian dan in-efisiensi dalam kegiatan ekspor impor; dan (3) pengelolaan risiko pada K/L belum dilakukan secara sistematis dan belum terintegrasi.

Posisi Indonesia dalam pemberian komitmen penerapan Trade Facilitation Agreement - World Trade Organization(TFA-WTO)masih rendah, yaitu Indonesia hanya memberikan komitmen dengan kategori A (langsung diterapkan setelah perjanjian entry into force) untuk 3 point perjanjian (pre-arrival processing, use of customs broker, dan penalty discipline)dari 48 poin yang diaturdalam TFA-WTO

Semua hal tersebut di atas menyebabkan capaian kinerja logistik belum optimal. Ukuran yang paling konkret dan sering menjadi patokan adalah dwelling time, di mana pada akhir tahun 2015 tercatat rata-rata masih membutuhkan waktu 4,7 hari.

 

  1. Tujuan dan Manfaat

 

Tujuan dan manfaat dai kebijakan di sector logistic ini adalah Mempercepat pelayanan kegiatan impor/ekspor yang dapat memberikan kepastian usaha, efisiensi waktu dan biaya perizinan, serta menurunkan dwelling time. Selain itu diharapkan akan meningkatkan efektifitas pengawasan melalui integrasi pengelolaan risiko diantara Kementerian/Lembaga.

 

Disisi laian kebijakan ini akan berdampak meningkatkan high compliance dan mendorong pelaku usaha untuk patuh karena adanya kepastian waktu pelayanan. Dengan Adanya perlakuan yang sama pada pelayanan dan pengawasan perizinan dari semua Kementerian/Lembaga terhadap setiap pelaku usaha sesuai dengan profil risiko, akan menciptakan kepastian proses layanan ekspor impor.

 

  1. Pokok-pokok Kebijakan

 

Sebagai upaya mencapai tujuan yang digariskan di atas, di sektor logistic ini Pemeirntah akan mewajibkan semua Kementerian/Lembaga untuk mengembangkan fasilitas pengajuan permohonan perizinan secara tunggal (single submission) melalui Portal Indonesia National Single Window (INSW) untuk pemrosesan perizinan.

 

Upaya tersebuat akan diikuti dengan menerapan Indonesia Single Risk Management dalam sistem (ISRM) dalam sistem INSW dengan melakukan penerapan identitas tunggal dan penyatuan informasi pelaku usaha dalam kegiatan ekspor impor, sebagai base profil risiko dan single treatment dalam pelayanan perizinan masing-masing Kementerian/Lembaga.

 

Untuk tahap awal meluncurkan model single risk management dalam platform single submission antar BPOM dengan Bea dan Cukai yang diperkirakan dapat menurunkan dwelling time terhadap produk-produk bahan baku obat, makanan minuman, dan produk lain yang membutuhkan perizinan ari BPOM dari 4,7 Hari menjadi sekitar 3,7 Hari pada bulan Agustus 2016.

Untuk tahap berikutnya, pemerintah mewajibkan penerapan single risk management pada Agustus 2016, dan diperluas penerapannya untuk beberapa K/L seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, sehingga pada akhir tahun 2016, diharapkan dapat berpengaruh pada penurunan dwelling time menjadi 3,5 Hari secara nasional.

Terakhir, menetapkan single risk management agar diterapkan secara penuh pada seluruh Kementerian/Lembaga penerbit perizinan ekspor/impor, sehingga akan mendorong tingkat kepatuhan Indonesia terhadap WTO Trade Facilitation Agreement menjadi 70 persen serta dapat menurunkan dwelling time menjadi kurang dari 3 Hari pada akhir Tahun 2017.

 

Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan

  1. Latar Belakang

Saat ini terdapat 206 industri farmasi yang mendominasi pangsa pasar obat nasional (76%), tetapi 95% bahan baku obat masih diimpor. Selai itu, ada 95 industri alat kesehatan (alkes) yang memproduksi 60 jenis dengan teknologi middle-low dengan kelas risiko rendah-menengah, memiliki pertumbuhan 12% per tahun, tetapi 90% alkes masih diimpor.

Kondisi ini tentu perlu direstrukturisasi, mengingat kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) memerlukan dukungan dan kemampuan produksi dalam negeri.

Memperhatikan kondisi industri farmasi dan alkes tersebut dan adanya kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang memerlukan dukungan kemampuan produksi dalam negeri, sehingga perlu diambil langkah-langkah kebijakan yang terintegrasi (tailor-made policy) yang melibatkan dukungan semua Kementerian/Lembaga, BUMN, dan pemangku kepentingan lainnya untuk mempercepat pengembangan industri farmasi.

 

Dari 939 jenis obat dalam Rencana Kebutuhan Obat Nasional Tahun 2015 yang lalu, ternyata masih didominasi oleh kebutuhan obat-obat dasar seperti vitamin B; obat tahan sakit (analgesik) dan turun panas (antipiretik) seperti Paracetamol;  dan antibiotik seperti Amoxycillin. Pada Tahun 2015 penjualan produk-produk farmasi mencapai Rp 62,1 Triliun (sumber: survey IIMS Q4-2015)

Untuk itu, pemerintah akan segera menyusun road map dan action plan pengembangan industri farmasi dan alkes, mengembangkan riset di bidang farmasi dan alkes serta menyusun kebijakan yang mendorong investasi di bidang industri farmasi dan alkes. Kebijakan yang dimaksud, salah satunya adaah kebijakan fiskal, antara lain pembebasan atau penurunan bea masuk, tax holliday dan tax allowance di bidang ini.

 

  1. Tujuan dan Manfaat

kebijakan di sektor farmasi ini bertujuan untuk menjamin ketersediaan sediaan farmasi dan alat kesehatan sebagai upaya peningkatan pelayanan kesehatan dalam rangka Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Selain itu juga untuk mendorong keterjangkauan harga obat di dalam negeri dan meningkatkan daya saing ekspor.

 

Lebih jauh diharapkan dengan adanya kebijakan ini akan mendorong penguasaan teknologi dan inovasi,  serta Mempercepat kemandirian dan pengembangan produksi bahan baku obat dan alat kesehatan.

 

  1. Pokok-Pokok Kebijakan

Guna mencapai tujuan tersebut hal yang akan dilakukan adalah menerbitkan Instruksi Presiden kepada Menteri Kesehatan, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Badan Usaha Milik Negara, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal untuk mempercepat kemandirian dan daya saing industri obat dan alat kesehatan dalam negeri.

Selain itu juga dilakukan penyusunan road map dan action plan pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan, yang antara lain memuat langkah-langkah untuk pengembangan industri bahan baku obat dan alat kesehatan, melalui investasi swasta, kerja sama  swasta dan BUMN Farmasi, serta sinergi antar BUMN, khususnya:

  • Produk Bioteknologi, seperti insulin stem cell protein, blood fractionation, interferon, monoclonal antibody;
  • Produk Vaksin seperti: dengue (demam berdarah), HB (Hepatitis B), Sabin IPV (Inactivated Polio Vaccine), HPV (Human Papiloma Virus);
  • Produk Natural, seperti ekstrak biji pala, curcumin, gingerol, ekstrak sambung nyawa, ekstrak temulawak, omega 3, isolate alga cokelat (wound care);
  • Active pharmaceutical ingredient (API) atau Bahan Baku Obat seperti: simrastatin turunan statin untuk menurunkan kadar kolesterol, garam farmasi (kadar NaCl diatas 99% yang sudah diuji coba oleh PT. Kimia Farma), ascorbic acid (vit C), dan retinol;

 

Disisi lain akan dilakukan peningkatan supply alat kesehatan produk dalam negeri, seperti: produk Disposable and consumable, hospital furniture, implant ortopedi, elektromedical devices. Diagnostics instrument, PACS (Picture Archiving and Communication Systems), Diagnostics Reagents, Point of care testing, dan sebagainya.

Pemerintah juga akan mengembangan riset sediaan farmasi dan alat kesehatan untuk mendorong peningkatan kualitas dan ragam temuan-temuan baru.
Penyusunan kebijakan yang mendorong investasi industri farmasi dan alat kesehatan (a.l. membuka Daftar Negatif Investasi yang lebih terbuka bagi penanaman modal asing, yaitu untuk bahan baku obat dari 85% menjadi 100% untuk penanaman modal asing).

 

Disisi kelembagaan akan diupayakan peningkatan kapasitas kelembagaan (sinerjitas BUMN Farmasi) dan sumber daya manusia (tenaga apoteker, farmasi, kimia, biotechnology) serta pembiayaan. Ditunjang dengan penyusunan kebijakan perdangangan dalam negeri dan luar negeri yang mendukung pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan, antara lain perluasan penerapan e-catalogue, standar obat di rumah sakit dalam rangka Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), penggunaan produk dalam negeri, dan pengendalian impor ekspor.

Hal terakhir yang digarisbawahi adalah penyusunan kebijakan fiskal untuk industri farmasi dan alat kesehatan, antara lain fasilitas bea masuk, tax holiday, tax allowance, incentif di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Kawasan Industri, Pusat Logistik Berikat, dan sebagainya.

Dirangkum dari berbagai sumber